SocMed: Alat Pembangun Sinergisitas


.

Bagi sebagian kalangan mahasiswa, dalam kasus ini adalah mahasiswa UNDIP, frase ‘pergerakan mahasiswa’ hampir selalu diidentikkan dengan aksi turun ke jalan menentang berbagai kebijakan publik pemerintah. Ironisnya, paradigma tersebut biasanya akan bermuara pada suatu kritik yang destruktif. Para mahasiswa yang demikian umumnya cenderung bersifat apatis-pragmatis. Mereka kurang memahami aktivitas pergerakan mahasiswa yang ada di kampus. Wajar kalau mereka akhirnya memilliki pandangan yang buruk terhadap isu pergerakan mahasiswa.
Kondisi ini semakin diperparah dengan kinerja media massa yang cenderung mendramatisir setiap adegan aksi di jalanan. Pemberitaan yang demikian absurd-nya inilah yang ikut menimbulkan persepsi tersendiri bagi masyarakat, termasuk juga mahasiswa ‘golongan ini’. Akibatnya, para aktivis pun terkadang menjadi korban persepsi negatif masyarakat.
Padahal, pergerakan mahasiswa yang ada pada kenyataannya tidak selalu demikian. Jika kita merujuk pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, pergerakan mahasiswa dapat dikategorikan kedalam aspek pengabdian masyarakat, sebab cakupan aktivitasnya sangat luas. Selain itu, bentuk ini memang lebih mudah direfleksikan. Jika kita melihat secara holistik, keadaan mahasiswa dan keadaan sosial yang berubah seharusnya menjadi alasan juga untuk menyesuaikan pemahaman atas kondisi tersebut. Pemahaman mengenai pergerakan juga seharusnya diperluas sesuai dengan keragaman orientasi masing-masing mahasiswa.
Sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, telah tercantum tiga poin dasar pembentukan perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Setiap mahasiswa harus menyadari ketiga poin tersebut sebagai salah satu tanggung jawab yang harus dikembangkan secara simultan dan bersama-sama. Meskipun secara faktual, ketiga poin dasar tersebut masih sangat sulit untuk direalisasikan secara masif. Tentunya hal itu merupakan sebuah kewajaran dimana setiap individu mahasiswa umumnya memiliki satu orientasi utama dalam proses pembelajarannya di dunia kampus. Kita tidak berbicara tentang idealitas seorang mahasiswa, namun lebih merunut pada kondisi faktual yang ada. Dengan kondisi yang demikian, tidak jarang terjadi perbedaan pemahaman dan sudut pandang dalam melihat suatu permasalahan, baik itu yang berkaitan dengan masalah kampus ia berada atau bahkan menyangkut masalah nasional. Jika dibiarkan berkembang, dalam waktu panjang dinamika kondisi kampus akan cenderung pada tren negatif, dimana setiap golongan mahasiswa akan terkotak-kotakkan dan bersifat eksklusif hingga tak jarang menganggap golongan lain sebagai musuh. Efek ini akan berdampak luas pada setiap organisasi intra kampus, dimana tidak ada lagi sinergisitas antar mahasiswa. Bahkan tidak menutup kemungkinan, hal tersebut muncul di dalam tubuh internal organisasi itu sendiri!
Kita harus menyadari bahwa komunikasi adalah suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun kebersamaan. Demikian halnya dengan organisasi kampus. Tanpa komunikasi yang baik, tidak akan pernah tercipta sinergisitas antar lembaga. Apalagi saat ini, dunia benar-benar digenggam oleh kekuatan media dengan disertai semangat globalisasinya. Kondisi ini tanpa kita sadari menuntut setiap individu ‘dipaksa’ untuk selalu terkoneksi satu sama lain. Begitu hebatnya peran media ini hingga mampu menurunkan rezim pemerintahan Presiden Mubarok di Mesir awal tahun ini. Begitu juga dengan pergolakan tuntutan demokrasi di negara-negara Timur Tengah lainnya. Dengan pemanfaatan komunikasi melalui media sosial, mereka mampu membuat sebuah gerakan yang masif untuk mencapai tujuannya.
Bahkan di dalam negeri sekalipun, teman-teman BEM UI telah membuktikan keampuhan media sosial ini hingga akhirnya mampu membuat berbagai perubahan yang lebih baik di kampusnya. Melalui gerakan “Change!” (@BEMUI_Change), mereka mampu menghimpun partisipan guna ikut memperjuangkan berbagai kepentingan mahasiswa UI, seperti advokasi biaya keprofesian FKG, pengawalan Statuta UI, pemerataan fasilitas di tiap fakultas, dan sebagainya. Namun terlepas dari itu semua, ada yang bisa kita ambil pelajarannya, yaitu adanya keseragaman dalam setiap pergerakannya. Ini merupakan contoh konkrit sinergisitas dalam tubuh internal suatu organisasi. Keseragaman bukan berarti harus sama, tetapi lebih kepada sikap saling mendukung satu sama lain.
Inilah saatnya media sosial lebih berperan aktif dalam penyampaian isu kepada para mahasiswa. Melaluinya, media sosial dapat menjadi sarana diskusi yang konstruktif dan aspiratif. Memang, membentuk suatu gerakan mahasiswa bukanlah perkara yang mudah. Tapi paling tidak, membangun komunikasi yang baik adalah suatu awalan yang tepat menuju kampus yang sinergis. Alangkah indahnya suatu kampus apabila setiap mahasiswanya mampu menghargai setiap perbedaan orientasi pembelajaran. Tidak akan ada lagi hujatan atau kritik destruktif terhadap pergerakan mahasiswa.

HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!

Olimpiade Geologi Magmadipa (OGMA) 2012


.

Temen-temen SMA sederajat regional Jawa Tengah, tahun ini Teknik Geologi Universitas Diponegoro bakal ngadain Olimpiade Geologi! So, buat kamu yang tertarik di bidang kebumian, nih check this out!

Olimpiade Geologi Magmadipa 2012
 Ayo segera daftar ya..

NOAH - Tak Lagi Sama


.

Song: David/Ihsan
Lyric: Ihsan

Intro: A   B

A                        B 
Cerita ini tak lagi sama,
         G#m                  C#m
Meski hatimu selalu disini
A                                    B
Mengertilah bahwa ku tak berubah,
          G#m                   C#m
Lihat aku dari sisi yang lain

Bridge:
   A                 B     G#m      C#m 
Bersandar padaku, rasakan hatiku
  A                    B
Bersandar padaku

Reff:
E                    B              C#m 
      Dan diriku bukanlah aku 
                       B                 A
      tanpa kamu tuk memelukku
                       G#m
      Kau melengkapiku, 
F#m                    B    
      kau sempurnakan aku

Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari

Bridge:
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku ooh

Reff:
Dan diriku bukanlah aku 
tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
 
Dan diriku bukanlah aku 
tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku, kau melegakan aku

chord by: Andi Pratama

Sekelumit Kisah GOM 3 Fakultas UNDIP (Part 1)


.

Assalamu'alaikum.

Malem ini gue pengen sedikit share aja tentang acara Grand Opening Mentoring (GOM) yang kemaren dilaksanain di kampus UNDIP. Ada beberapa hal yang menarik dari pelaksanaan GOM tahun ini. Eh anyway udah pada tau kan apa itu GOM? Singkatnya, itu adalah acara pembukaan dan pengenalan mentoring ke mahasiswa baru. Kontennya juga beragam, mulai dari motivasi, tips2 ngadepin semester2 awal, hiburan, sampe pemutaran film mentoring. Pokoknya seru lah, gak kalah ama konsernya #SMTown. hehe..

Terus apanya yang menarik dari pelaksanaan GOM tahun ini? Nih gue share kronologi acaranya, mulai dari persiapan sampe pelaksanaan:

Awalnya (dan emang rencananya begini), GOM yang diinisiasi oleh Forum Silaturahmi Mahasiswa Muslim (FSMM) Fakultas Teknik Undip emang hanya diselenggarain buat mahasiswa baru Fakultas Teknik doang. Dan itu udah direncanain dari jauh bulan (bener gak sih istilahnya? hehe). Bahkan proposal untuk peminjaman Gedung Prof Soedharto pun sudah diserahkan ke pihak rumah tangga rektorat, harapannya biar gedung bisa dipake pada hari H sesuai jadwal. Intinya semua persiapan udah beres dan matenglah secara konsep.

Namun, semua itu berubah ketika Negara Api menyerang (lho?). Nggak2 itu ngaco. Sebenernya semua udah fix. Tapi, mendadak situasi jadi serba genting.

Tepat 3 hari sebelum pelaksanaan acara, pihak panitia dapet SMS dari pihak rektorat. Isinya? Gedung Prof Soedharto, yang udah kita booking dari jauh2 bulan, ternyata mau dipake buat kegiatan tes CPNS. Itu pihak rektorat sebenernya ngerti gak sih ini acaranya anak teknik yang bakal dihadirin sekitar 1800an orang, dan kita disuruh pindah ke Auditorium Imam Bardjo??? *shock kaki di kepala, kepala di kaki

Gimana nggak, panitia udah siap banget dengan segala persiapan di Soedharto dan dengan jarak yang sangat singkat ini, pihak rektorat membatalkan pemesanan gedung secara sepihak. Tentunya kita gak bisa tinggal diam. Audensi dan lobi pun dilakukan. Tapi, tetep aja hasilnya nihil. Bahkan Pembantu Rektor II enggan nemuin pihak negosiator panitia GOM. Apa gak bikin kesel tuh? Mereka (pihak rektorat, red) bersikukuh bahwa ini adalah mandat pemerintah dan udah ada tandatangan Menteri. Alhasil kita dikasih opsi tunggal. Pihak rektorat bakal nyediain Auditorium Imam Bardjo UNDIP Kampus Pleburan sebagai penggantinya, lengkap dengan segala fasilitasnya, termasuk sound system, karpet, LCD, blower, dsb. Tapi jujur, tetep aja itu bukan menjadi solusi yang bisa menjadi komplementer.

Berita dadakan ini disampein langsung oleh ketua panitia, Satya Arisena Hendrawan, pas lagi rapat pleno sore2 di Masjid Kampus UNDIP. Udah bisa ditebak, kita semua kaget sekaligus bingung, mau gimana nih? Sebenarnya bukan kita gak mau dikasih di Imam Bardjo, tapi caranya itu lho, Kawan. Inget nih, 3 hari sebelum hari H! Gimana persiapannya coba? Apalagi tau sendiri, Imam Bardjo itu bukan tempat yang kondusif buat ngadain acara kayak seminar gini, lebih cocoknya dipake buat tempat konser musik. Serius gue!

Rapat pleno sore itu menghasilkan solusi. Ternyata, hari Ahad tanggal 23 September, bakal ada juga acara GOM di Soedharto yang diselenggarain oleh temen2 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) & Fakultas Peternakan dan Pertanian (FPP). Jadi rencananya kita pengen ngelobi buat tukeran tempat dengan temen2 FIB-FPP, mengingat peserta dari FT yang sekitar 1800an orang, sedangkan FIB-FPP hanya berkisar 500-600 orang. Opsi tempat yang kita tawarin, yaitu gedung LPPU UNDIP. Tempatnya masih di area kampus Tembalang dan kondisinya juga kondusif untuk jumlah peserta dibawah 1000 orang. Lagian minggu kemaren juga baru aja dipake sama temen2 FPIK buat ngadain GOM.

Alhamdulillah, dari lobi2 yang kita lakuin, mereka setuju dengan syarat semua keperluan pemindahan lokasi GOM ini dibantu oleh temen2 dari teknik.

Namun ntah kenapa, hari Jum'at gue dapet kabar lagi: pihak rektorat lagi rapat ngebahas pemakaian gedung Soedharto sebab hari Sabtu ternyata belum fix dipake buat tes CPNS.

*gondok setengah mati gue

Rasanya pengen banget ngebersihin lingkungan rektorat, biar orang2 disana juga bisa berpikir jernih. Enak banget ya ngerubah keputusan asal-asalan gitu. Dan ternyata emang bener, Bro. Hari Sabtu di Soedharto kosong melompong adem ayem sunyi senyap. Tes Penerimaan CPNS batal.

-_-"

Gue bingung harus ngasih ekspresi apa.

*gue udah ngantuk, besok aja yak dilanjutin.

Evaluasi PIMNAS XXV Yogya: Dibutuhkan Segera Sinergisitas Mahasiswa dan Birokrasi!


.

PIMNAS XXV di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta telah berakhir pada Juli kemarin dengan menempatkan Universitas Brawijaya sebagai juara umum, diikuti oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di posisi kedua dan ketiga. Lalu dimanakah Universitas Diponegoro? Dengan 17 tim yang lolos sebagai peserta PIMNAS, Undip harus puas meraih satu medali perunggu dan satu penghargaan favorit sehingga hanya bisa menempatkannya pada posisi 18. Posisi ini bahkan tidak lebih baik jika dibandingkan dengan dua PTN tetangga, yaitu Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada posisi 7 dan Politeknik Negeri Semarang (Polines)  pada posisi 16.
Berikut ini tabel daftar juara umum PIMNAS sejak tahun 2004 dan grafik perbandingan jumlah tim peserta pada PIMNAS XXV.
Dari grafik disamping, Undip termasuk ke dalam 10 besar peserta dengan tim terbanyak pada PIMNAS XXV. Jika kita review dua tahun ke belakang, pada PIMNAS XXIII 2010 di Bali, Undip baru mampu mengirimkan 7 tim dengan hasil satu medali emas dan satu medali perunggu, sedangkan pada tahun berikutnya Undip hanya berhasil meloloskan 2  tim saja dan pulang dengan tangan hampa pada PIMNAS XXIV 2011 di Makassar. Tentunya kita wajib berbangga dan bersyukur dengan capaian Undip saat ini.
Pencapaian jumlah tim lolos PIMNAS yang melonjak tajam pada tahun ini tentunya bukan hanya hasil kerja keras mahasiswa secara individu. Kita juga perlu mengapresiasi kinerja lembaga mahasiswa yang bergerak di bidang ristek, seperti Forum Studi Teknik (FST) pada lingkup Fakultas Teknik, yang telah mengkampanyekan sejak jauh hari terkait ajang PIMNAS. Bahkan tidak hanya itu, pembimbingan dan advokasi pun dilakukan demi memuluskan target 1000 proposal PKM yang dicanangkan oleh rektorat Undip. Alhasil, Fakultas Teknik berhasil menjadi penyumbang terbanyak proposal yang lolos didanai Dikti.



Selain itu, apresiasi tinggi juga perlu kita tujukan kepada birokrasi Undip. Beberapa ‘pasukan’ Undip pada PIMNAS tahun ini pun mengakui ada beberapa hal yang telah mengalami peningkatan kualitas terkait pelayanan dan dukungan dari birokrasi terhadap perkembangan riset di kampus Diponegoro ini. Salah satunya dengan mengadakan Monev (Monitoring dan Evaluasi) oleh reviewer internal dalam lingkup kampus Undip sebagai persiapan awal sebelum diadakannya Monev dari pihak Dikti. Selain itu, mahasiswa juga telah diberi pembekalan, beberapa hari sebelum berangkat berjuang mewakili Undip di ajang PIMNAS. Tentunya semua usaha yang telah diberikan oleh birokrasi patut kita apresiasi tinggi.
Namun kita pun sebagai mahasiswa harus sadar bahwa kualitas dukungan dari birokrasi Undip masih kalah jauh dibandingkan dengan universitas lain. Sebagai contoh, ketika mahasiswa Undip masih bersusahpayah mengejar UAS susulan akibat mewakili Undip di ajang PIMNAS, justru IPB telah mengapresiasi mahasiswanya, yang proposal PKMnya didanai oleh Dikti, dengan memberikan tiga SKS tambahan dengan nilai minimal B. Sudah sangat terlihat kan bagaimana peran aktif birokrasi dalam mewujudkan kampus riset. Disinilah sangat diperlukan peran aktif mahasiswa dalam mengkomunikasikan kebutuhan mahasiswa terkait pengembangan iklim riset di kampus Undip. Sebab pada dasarnya mahasiswa lebih paham dan mengerti apa-apa saja yang diperlukan ketika melakukan penelitian karena mahasiswa sendirilah yang merupakan pelaku intelektual pengembang riset itu sendiri. Misalnya, mahasiswa sebenarnya lebih membutuhkan bimbingan dosen yang capable sekaligus pembinaan khusus dalam pembuatan poster dibandingkan mendapat pelayanan hotel mewah ketika pembekalan. Namun, semua itu bukan berarti usaha dan dukungan birokrasi terkesan sia-sia, hanya saja belum tepat sasaran bila ingin menghasilkan kualitas penelitian yang lebih baik.
Mulai sekarang, mahasiswa Undip perlu berbenah diri. Tidak perlu ada lagi hujatan-hujatan kepada birokrasi jika kita pun secara individu masih belum maksimal berusaha. Namun, kita juga wajib untuk lebih komunikatif dengan birokrasi mengingat mahasiswalah yang lebih paham dan mengerti mengenai kebutuhannya dalam penelitian. Di sisi lain, birokrasi sebagai pencetus visi besar Undip menjadi World Research University 2020 juga wajib mendengarkan aspirasi mahasiswa sebagai bentuk nyata dukungan dalam pengembangan iklim riset yang berkualitas di kampus Diponegoro. Jika sudah terwujud kondisi yang sinergis antara mahasiswa dan birokrasi, bukan menjadi hal yang mustahil Undip menjadi juara umum di ajang PIMNAS.

UNDIP JAYA!



*tulisan ini juga akan dimuat di majalah SOL dari biro Forum Studi Teknik Universitas Diponegoro

Problematika Umat


.

Sebagai mahasiswa Muslim yang memiliki pandangan yang visioner, sudah selayaknya kita mampu bangkit untuk menjadi yang terbaik bagi diri sendiri, lebih-lebih bisa memberikan dampak yang positif ke lingkungan sekitar. Hal ini sudah jelas-jelas tertera dalam Al-Qur’an yang menerangkan bahwa agama Islam adalah agama yang “rahmatan lil’alamin”, dengan kata lain merupakan suatu keberkahan bagi seluruh alam semesta. Dengan demikian, orang yang menganut agama Islam sudah sepatutnya juga dapat menjadi berkah bagi masyarakat luas di lingkungan tempat ia berada.
        Hingga saat ini, masih sangat sering kita jumpai berbagai fenomena di masyarakat mengenai kebobrokan dan segala kabar duka yang menimpa umat Islam yang terjadi di segala penjuru dunia. Sebut saja mulai dari masalah kasus pengguna narkotika yang terus meningkat dari tahun ke tahun, adanya kasus pelanggaran HAM di Perancis yang melarang siswi sekolah menggunakan jilbab, konspirasi global yang didalangi oleh kaum Yahudi Israel dalam bidang media, hingga masalah ekonomi yang terus mendera Negara Indonesia ini. Semua hal yang disebutkan diatas tentunya membuat kita prihatin dan sedih. Berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam dunia saat ini bisa jadi membuat kita menjadi orang yang pesimis hingga akhirnya mampu menenggelamkan visi kejayaan umat Islam di masa mendatang. Namun, justru inilah yang harus kita cegah secepat mungkin, jangan sampai kita terbawa arus kegundahan dan kesedihan yang akhirnya membuat kita melupakan janji Allah tentang kebangkitan umat Islam di masa mendatang.
        Segala permasalahan diatas tentunya memiliki akar utama penyebabnya, yaitu umat Islam perlahan sudah mulai meninggalkan agamanya. Dengan kata lain, secara perlahan beranjak menuju ideologi sekularisme. Jika dibiarkan lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin Islam hanya dijadikan sebagai agama ritual saja, tanpa adanya pengaturan dalam segala aspek kehidupan. Untuk itu, umat Islam harus segera kembali ke fitrohnya, dengan cara mulai lagi mengenali dirinya masing-masing hingga akhirnya bisa menerima kondisi. Selanjutnya barulah kita bisa meningkatkan dan mengembangkan kapasitas diri. Pada intinya, kita semua harus kembali kepada ajaran agama Islam secara kaffah dengan cara mulai mengenali Allah guna bisa selalu dekat dengan-Nya. Karena sejatinya, agama Islam jelas akan kembali bangkit di masa mendatang, tinggal bagaimana peran kita dalam proses perjuangan itu.

Wallahua’lam bishshowab.

*tulisan ini dibuat sebagai resume materi Training Akbar Pementor Universitas Diponegoro Tahun 2012

Mentoring Bukanlah Agenda Rutin yang Wajib


.

Jauh sebelum mengenal mentoring, pendidikan agama Islam telah diajarkan pada setiap jenjang tahapan pendidikan, mulai dari SD bahkan hingga perguruan tinggi. Namun hal demikian belum bisa dikatakan cukup apabila pendidikan tersebut hanyalah sebatas ilmu pengetahuan tanpa adanya penerapan dalam berbagai aspek kehidupan. Terlebih jika setiap individu belum memiliki kesadaran untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal sudah jelas tertuang dalam firman Allah Q.S. Al-Baqoroh: 208 yang menggambarkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang menyangkut semua aspek kehidupan. Dengan demikian, sudah sepatutnya ajaran agama Islam tidak hanya dijadikan sebagai objek dalam kurikulum pendidikan, akan tetapi harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk juga dalam lingkungan pergaulan, maupun lingkungan masyarakat.
Sebagai kegiatan peningkatan kualitas hidup pribadi manusia yang berlandaskan agama, mentoring merupakan kegiatan rutin dengan skala urgensitas yang tergolong tinggi. Saya berani berkata demikian sebab tidak ada seorangpun yang bisa menjamin kualitas iman seseorang akan selalu berada dalam kondisi yang prima. Begitu juga dengan semangat dan motivasi. Semua itu merupakan hal-hal yang bersifat fluktuatif. Bisa jadi satu minggu kita berada dalam kondisi memuncak, namun tidak menutup kemungkinan juga minggu-minggu selanjutnya kita justru menjadi down akibat kelelahan dalam menjalani rutinitas. Sebab pada dasarnya hati manusia juga memerlukan suatu penyegaran ruhaniyah, tentunya dengan menggunakan pendekatan agama.
          Berdasarkan uraian diatas, paling tidak kita sudah sedikit bisa memahami bagaimana kekuatan mentoring dalam upaya peningkatan kualitas hidup seseorang. Dari sini, kita juga harus mulai berpikir bagaimana meletakkan posisi mentoring dalam skala prioritas kegiatan. Bisa dikatakan, kita perlu meluangkan sedikit waktu kita, terlepas dari berbagai agenda yang ada, untuk mendapatkan materi mentoring. Dengan kata lain, mentoring telah memiliki urgensitasnya sendiri dalam agenda kehidupan sehari-hari kita.
Berbicara tentang urgensitas memang tidak bisa kita pisahkan dari prioritas. Betapapun pentingnya suatu hal, namun semua kembali lagi pada manajemen prioritas kegiatan yang telah kita susun. Seperti judul yang saya buat diatas, ketika kedewasaan telah didapatkan dalam memahami prioritas berbagai kegiatan, tentunya kita dapat menempatkan kegiatan mentoring pada posisi yang spesial di hati kita. Sebab kita harus segera sadar, mentoring bukanlah agenda wajib yang dirutinkan, tetapi sudah menjadi agenda rutin atas dasar kebutuhan penyegaran ruhaniyah pribadi.

***

Welcome Home!


.

Assalamu’alaikum!

Alhamdulillah, hari Minggu siang kmaren akhirnya gw nyampe juga di Palembang. Ah, kota ini emang tetep numero uno di hati gw (maaf lebay haha..). Gimana nggak, di kota inilah gw tumbuh dan berkembang. Apalagi ditambah dengan seabrek dan segudang kenangan didalemnya, membuat gw makin susah buat ninggalin kota ini (tambah lebay, maaf).

Sejak pemerintah ngumumin awal Ramadhan tanggal 21 Juli kemaren, berarti udah lebih kurang 9 hari gw jalanin ibadah puasa di negri rantau. Ada seneng ada sedihnya lah. Seneng, pas buka PASTI dapet ta’jil gratisan. Sedih, kalo telat dating ke masjid gak dapet kupon ifthor gratisan. Maap yah, parameternya makanan gratisan mulu. Namanya juga anak kosan haha.. Tapi serius lho, gw ngerasa cukup betah buat puasa di lingkungan kampus. Rasanya tuh kita punya banyak waktu kosong yang bisa kita luangin ke hal-hal yang bermanfaat. Mulai dari bangun tidur langsung nyari sahur rame-rame bareng temen, sholat Subuh yang selalu tepat waktu ke masjid (tumben banget yah hehe), ngaji bareng temen sampe nunggu dhuha, siang-siangnya ngobrol bareng temen buat rencanain lomba-lomba kedepan, sorenya buru-buru ke masjid buat dengerin kajian (baca: dapetin kupon ifthor), dan malemnya mulai deh safari Ramadhan dari satu masjid bagus ke masjid bagus yang lain. Gila, produktif banget gw yak! Hahaha.. Makanya bisa dibilang Ramadhan di kampus tuh emang pas banget buat evaluasi diri (bagi yang sadar hehe).

Tapi tetep aja, sebetah-betahnya gw puasa di kampus, masih tetep betah gw di rumah. Ya iyalah, mana bisa gw gak mikir soal duit kalo masih jauh dari rumah. Apalagi Ibu juga udah sering banget nanyain kapan pulang, jadi yah gw nurut aja. Birru walidain lah, ya gak Sob? Tapi walopun gitu, gw gak pengen langsung pulang ke Palembang. Gw masih pengen maen dulu ke tempat sodara gw di Pekalongan, sekalian juga pengen nyobain gimana hidup di Jakarta. Setelah berpikir keras, dipilihlah tanggal 24 Juli sebagai hari keberangkatan.

Pekalongan

Banyak banget nih cerita disini. Dari cerita-cerita itu, ada juga banyak pelajaran yang bisa gw ambil. Mulai dari awal berangkat aja udah dapet pelajaran berharga: hargain waktu. Oke, jadi gini. Gw berangkat gak sendirian, tapi bareng temen sekosan gw: Rangga Wanapati. Kita tuh dari awal sebenernya udah kayak orang gak niat buat pulang. Hari itu, gw masih sibuk nyuci baju dan beres-beres kamar. Sedangkan Rangga juga masih sangat terlihat sibuk dengan bisnis bulu dombanya. Alhasil, sampe jam 3 sore kita tuh belom packing dan sebagainya lah. Tau sendiri gimana jadinya, padahal tiket kereta udah dipesen buat keberangkatan jam 16.40. Dan kalian tau sendirilah, kita jam 16.00 baru selesai beres-beres. Bener-bener mahasiswa yang gak kenal waktu yah ckckck..
Berangkat jam 16.00 dari kosan menuju Stasiun Poncol tuh udah kayak dikejer setan tau gak. Mana orang yang nganter gw (baca: Udin) juga lama buanget nyetirnya (tapi thanks banget lho Din udah mau nganterin gw, kalo gak ada lo gak tau deh apa jadinya gw waktu itu hhehe..). Alhasil, gw tiba tepat waktu. H – 10 menit gw udah sampe TKP. Gimana Rangga? Jangan tanya deh, dia jam 16.00 tuh baru sibuk beresin bawa ini bawa itu buat persiapan pulang.

Untungnya, gw berhasil nahan satpam-satpam di Poncol buat nunda sedikiiiiit aja keberangkatan keretanya. Ternyata gw diem-diem jago juga ya berdiplomasi (baca: nipu). Gimana nggak, jam udah 16.41 dan si Rangga belom keliatan batang idungnya! Yaudah, gw spik-spik aja tuh si satpam, ditambah pake acara nipu pula. Semuanya itu gw lakuin buat elu, Nge! (puas kan?)

Alhamdulillah, di tipuan gw yang ketiga, Rangga akhirnya dating sambil lari-lari gitu. Jadilah kita penumpang kereta yang paliiiiiing terakhir masuk kereta. Hadeehh.. Seumur-umur baru kali ini gw lari-lari ngejer kereta -_-“
Sampe Pekalongan jam 17.45. Langsung aja kita cari makan buka puasa di deket stasiun sambil nunggu jemputan buat selanjutnya nginep di tempat Bude gw.
Di Pekalongan, gw punya misi laen. Buat nyambungin tali silaturahmi antara keluarga di Palembang dengan keluarga di Pekalongan. Mantep beut yak misi gw. FYI, gw sama Rangga nginep di rumah Bude gw. Rumahnya nyaman banget. Pantesan gak pernah direnovasi sejak pertama kali gw kesana pas gw masih TK. Sambutannya? Jangan ditanya deh, paling enak banget memang disambut sama keluarga di Jawa. Exciting!

Di hari pertama (25 Juli), gw sama Rangga berkunjung ke rumah sodara gw yang notabene adalah salah satu pengusaha batik sukses di Pekalongan. Disana kita belajar banyak tentang proses pembuatan batik. Termasuk juga sedikit ngorek informasi jaringan pemasarannya. Salut banget gw sama Pakde gw satu ini. Dia bisa punya pabrik pemroduksian batik kayak gini nggak mudah lho. Bener-bener mulai dari serba nol! Dan sekarang dia jadi bandar batik dengan aset lebih dari 4 Miliar! Sangar..

Disini kita gak lama-lama. Setelah gw keliling-keliling ke rumah-rumah sodara gw, malemnya kita putusin langsung cabut ke Jakarta. Gak enak juga soalnya, Mamanya Rangga udah nelponin dia buat nyuruh pulang. Dan perjalanan pun dilanjutkan menuju kota penuh harapan. Jakarta.

Jakarta

Kita berdua naik bus dengan tariff yang terbilang murah dari Pekalongan: 45 ribu saja Sodara! Padahal itu bus termasuk kelas ekskutif lho, soalnya ada bantalan buat kakinya gitu. Bener-bener berkah Ramadhan ya.

Berangkat dari Pekalongan sekitar jam 23.00 membuat kita berdua tiba di Jakarta sekitar jam 07.30. Sempet bingung juga sih pas turunnya. Pertama, karena emang gw gak ngerti jalan disana. Kedua, karena Rangga juga sempet bingung jalan disana. Terus yang ngerti jalan siapa dong?? Tanyakanlah pada abang-abang ketoprak yang (ternyata masih) jualan di pinggir jalan. Lumayan lama juga kita berdua terdampar, mulai dari daerah satu (lupa apa namanya) sampe pindah tempat ke daerah yang laen (lupa juga apa namanya). Sampe naek turun angkot 3 kali, Sob! Hadeeh, yang kayak gini nih bikin males banget kalo bawa-bawa carier kemana-mana. Udah kayak orang gunung nyasar di kota aja gw.

Langsung gw skip ajalah. Panjang banget cerita muter-muternya (baca: nyasarnya) kalo mau ditulis. Finally, kita sampe dah di daerah Kelurahan Tengah, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dan seperti yang gw duga sebelumnya, kota ini emang sumpek, padet, dan bejibun banget orang yang ada disini. Sampe heran sendiri gw, kok mau-maunya ya orang yang gak punya skill tapi tetep nekat datang ke Jakarta. Istilahnya mah gini: Siape suruh dateng dimari?
Jakarta emang salah satu kota dengan tingkat kontras yang lumayan mencolok. Kalo kalian liat sebuah kompleks kondominium di suatu daerah, gak jauh dari sana udah bisa keliatan pula ada kampung yang masih jauh banget dari kata cukup. Singkat kata, gap antara yang mewah dan yang belum kaya (sengaja, biar ada motivasi buat jadi kaya) bener-bener jauh disini.

Selama disini, gw sempetin buat nyoba tarawihan di Masjid At-Tin, daerah Taman Mini. Pengennya sih mau ke Daarul Qur’an-nya Ust. Yusuf Mansur, tapi ternyata gak ngerti jalan, jadi yaudahlah yang deket aja. Di masjid ini juga gw dapetin sisi laen dari kota ini. Ternyata gak selamanya Jakarta itu kesannya sumpek melulu. Buktinya tarawih disini gw bisa dapet di shaf yang lumayan depan (ini kayaknya gw nyindir ya hehe). Tapi at all, gw seneng bisa tarawih di masjid ini. Bawaannya tenang. Disini sejenak orang-orang bisa fokus kepada Tuhannya tanpa memikirkan permasalahan hidup yang ada. Feel plong!
Dua hari gw nginep di rumah Rangga. Hari Sabtu (28 Juli) gw beli tiket buat balik ke Palembang untuk keberangkatan siangnya. Mendadak sih emang, tapi gpp lah. Tapi dari hal-hal dadakan yang kayak gini nih akhirnya jadi masalah lagi. Gw hampir aja ketinggalan bus! -_-“

Pertanda ini dimulai dari habisnya bensin motor Rangga pas mau nganterin gw ke terminal Kampung Rambutan. Tapi Alhamdulillah, ada yang jual bensin deket-deket fly over. Masalah berlanjut ketika ternyata Rangga nyasar sampe muter 2 kali jalan yang sama. Iya, nyasar Sodara-sodara! Hadeeh.. emang ada-ada aja ya kalo bawaannya dadakan gini. Gw aja sampe ditelpon 4 kali lebih sama agen busnya. Mungkin udah kesel juga kali itu mbak-mbak yang nelpon, soalnya gw selalu bilang bentar lagi nyampe mulu hahaha.. Kesel gak dapet-dapet jalan pintas ke Kp. Rambutan, akhirnya gw janjian aja ketemuan sama busnya persis di percabangan jalan masuk tol. Emang absurd banget. Ada orang yang nungguin bus di pintu masuk tol. Mungkin baru gw kali ya. Jakarta telah mendidik gw untuk menjadi orang yang anti-mainstream. Lho?

Palembang

Hari Ahad, 29 Juli jam 11.30, Alhamdulillah gw nyampe Palembang. Sebenernya ada cerita lagi disini, cuman gw udah capek kebanyakan nulis. At least, gw mau bilang thanks a bunch sama Rangga, Arif, Syafiq, dan yang lain-lain, khususnya Pekalongan dan Jakarta. Thanks for the inspiration!

United Nations as Harmonizing Policies of Countries


.


United Nations (UN) is an international organization whose stated aims are facilitating cooperation in international law, international security, economic development, social progress, human rights, and achievement of world peace. The organization has six principal organs: the General Assembly (the main deliberative assembly); the Security Council (for deciding certain resolutions for peace and security); the Economic and Social Council (for assisting in promoting international economic and social cooperation and development); the Secretariat (for providing studies, information, and facilities needed by the UN); the International Court of Justice (the primary judicial organ); and the United Nations Trusteeship Council (which is currently inactive). Other prominent UN System agencies include the World Health Organization (WHO), the World Food Programme (WFP) and United Nations Children's Fund (UNICEF). The UN's most prominent position is Secretary-General which has been held by Ban Ki-moon of South Korea since 2007 (Wikipedia, 2012).
As an international organization "world peace maker", the UN has an important role in regulating many things. Each department in charge of the United Nations has been devoted to one area where he focused on those categories. As an example, WHO is focusing on the development of world health, UNICEF with the "funding children" her, UNESCO is always paying attention to the culture of the nations of the world, and so forth. To that end, the UN has many policies to run its programs. One of the UN program that is being discussed is sustainable development.
Generally, sustainable development is a pattern of economic growth in which resource use aims to meet human needs while preserving the environment so that these needs can be met not only in the present, but also for generations to come (Wikipedia, 2012).
In the structure of organization in UN, sustainable development is one of division in UN DESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs), a part of UN Secretary. This department works to help countries around the world in preparing the agenda and policy in facing the challenges of economic, social and environmental.
Sustainable development is a program that has been long initiated by the United Nations since 20 years ago, precisely in 1992 when the ongoing UN world conference in Rio de Janeiro, Brazil. At that time, the world's nations have agreed that global development should have a continuity or a continuous nature, but still must consider other factors that may be a negative impact of global development. Therefore, in June this year ago, the United Nations re-establish the conference, better known as the Rio +20 Conference” with theme of Sustainable Development in Rio de Janeiro. The conference has three main focus in the discussion, which has renewed political commitments on sustainable development, identifying the gap between the development and implementation progress in achieving the initial commitment, and overcome new challenges are constantly evolving.
Actually, sustainable development does not only concentrate on environmental issues. More than that, the scope of sustainable development includes three policies: economic development, social development and environmental protection. Three of them have a relationship each other so that could make sustainability. This is the scheme of sustainable development: at the confluence of three preoccupations.
From the scheme, we could understand that three most important components of development: economic, social, and environmental, have a strong relationship each other. We couldn’t separate one of them, because they have to runs in balanced. No wonder if every policy in a nation should notice the three components. That’s the role of the United Nations is needed as in the manufacture of harmonizing policies in every country in the world.
   As for the UN Division for Sustainable Development has listed some of the scope of the following as part of Sustainable Development, such as:
· Agriculture 
· Atmospheric 
· Biodiversity
· Biotechnology 
· Capacity Building 
· Climate Change 
· Consumption and Production 
· Demography 
· Desertification and Drought 
· Reduction and Disaster Management 
· Education and Awareness 
· Energy 
· Finance 
· Forest, etc.
Sustainable development program essentially is an ambiguous concept. This is caused by the tug of interests between nature interests and human interests. Even we know, both of these are part of inter-related, but they’re often being the problems caused by the human ego. That’s why we could not measure about the progress of sustainable development program correctly, because there is not a real parameter that could be used as an indicator.
Population of peoples is the important part or we could say as the central point in sustainable development, because the true role of population is as a subject and object of this program. Large population with rapid growth, but low quality, will slow to achieve the ideal conditions between quantity and quality, more over with the condition of limited capacity, in natural and environment sector. Therefore, to realize sustainable development in a country, the quality of population components is required. From it, a nation is to be able to process and manage natural resources properly, precise, efficient, and optimally, while maintaining environmental sustainability. Hopefully there could be a condition when the population with carrying capacity of nature and capacity of the environment are balanced and harmony each other. 
Definitely our hopes below couldn’t be happened if there is not an international organization manages all the needs of all countries in the world. At least, United Nations could unite all countries to walk in line together, so that sustainable development could be achieved in a few years later, for a better world.

***

 References

(All references were accessed on July, 19th 2012)

ps: this essay was made for LIMUN (London International Model United Nations) 2012 Delegates Selection of Diponegoro University