Bagi sebagian kalangan mahasiswa, dalam kasus ini adalah mahasiswa
UNDIP, frase ‘pergerakan mahasiswa’ hampir selalu diidentikkan dengan aksi
turun ke jalan menentang berbagai kebijakan publik pemerintah. Ironisnya,
paradigma tersebut biasanya akan bermuara pada suatu kritik yang destruktif.
Para mahasiswa yang demikian umumnya cenderung bersifat apatis-pragmatis.
Mereka kurang memahami aktivitas pergerakan mahasiswa yang ada di kampus. Wajar
kalau mereka akhirnya memilliki pandangan yang buruk terhadap isu pergerakan
mahasiswa.
Kondisi ini semakin diperparah dengan kinerja media massa yang cenderung
mendramatisir setiap adegan aksi di jalanan. Pemberitaan yang demikian absurd-nya inilah yang ikut menimbulkan
persepsi tersendiri bagi masyarakat, termasuk juga mahasiswa ‘golongan ini’.
Akibatnya, para aktivis pun terkadang menjadi korban persepsi negatif masyarakat.
Padahal, pergerakan mahasiswa yang ada pada kenyataannya tidak selalu
demikian. Jika kita merujuk pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, pergerakan
mahasiswa dapat dikategorikan kedalam aspek pengabdian masyarakat, sebab cakupan
aktivitasnya sangat luas. Selain itu, bentuk ini memang lebih
mudah direfleksikan. Jika
kita melihat secara holistik, keadaan mahasiswa dan keadaan sosial yang berubah
seharusnya menjadi alasan juga untuk menyesuaikan pemahaman atas kondisi
tersebut. Pemahaman mengenai pergerakan juga seharusnya diperluas sesuai dengan
keragaman orientasi masing-masing mahasiswa.
Sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, telah tercantum tiga poin
dasar pembentukan perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Setiap mahasiswa harus menyadari ketiga poin tersebut
sebagai salah
satu tanggung jawab yang harus dikembangkan secara simultan dan bersama-sama. Meskipun secara faktual, ketiga poin dasar tersebut
masih sangat sulit untuk direalisasikan secara masif. Tentunya hal itu merupakan
sebuah kewajaran dimana setiap individu mahasiswa umumnya memiliki satu orientasi
utama dalam proses pembelajarannya di dunia kampus. Kita tidak berbicara
tentang idealitas seorang mahasiswa, namun lebih merunut pada kondisi faktual yang
ada. Dengan kondisi yang demikian, tidak jarang terjadi perbedaan pemahaman dan
sudut pandang dalam melihat suatu permasalahan, baik itu yang berkaitan dengan
masalah kampus ia berada atau bahkan menyangkut masalah nasional. Jika
dibiarkan berkembang, dalam waktu panjang dinamika kondisi kampus akan
cenderung pada tren negatif, dimana setiap golongan mahasiswa akan terkotak-kotakkan
dan bersifat eksklusif hingga tak jarang menganggap golongan lain sebagai
musuh. Efek ini akan berdampak luas pada setiap organisasi intra kampus, dimana
tidak ada lagi sinergisitas antar mahasiswa. Bahkan tidak menutup kemungkinan,
hal tersebut muncul di dalam tubuh internal organisasi itu sendiri!
Kita harus menyadari bahwa komunikasi adalah suatu hal yang sangat
dibutuhkan dalam membangun kebersamaan. Demikian halnya dengan organisasi
kampus. Tanpa komunikasi yang baik, tidak akan pernah tercipta sinergisitas
antar lembaga. Apalagi saat ini, dunia benar-benar digenggam oleh kekuatan
media dengan disertai semangat globalisasinya. Kondisi ini tanpa kita sadari menuntut
setiap individu ‘dipaksa’ untuk selalu terkoneksi satu sama lain. Begitu
hebatnya peran media ini hingga mampu menurunkan rezim pemerintahan Presiden
Mubarok di Mesir awal tahun ini. Begitu juga dengan pergolakan tuntutan
demokrasi di negara-negara Timur Tengah lainnya. Dengan pemanfaatan komunikasi
melalui media sosial, mereka mampu membuat sebuah gerakan yang masif untuk
mencapai tujuannya.
Bahkan di dalam negeri sekalipun, teman-teman BEM UI telah membuktikan keampuhan
media sosial ini hingga akhirnya mampu membuat berbagai perubahan yang lebih
baik di kampusnya. Melalui gerakan “Change!” (@BEMUI_Change), mereka mampu
menghimpun partisipan guna ikut memperjuangkan berbagai kepentingan mahasiswa
UI, seperti advokasi biaya keprofesian FKG, pengawalan Statuta UI, pemerataan
fasilitas di tiap fakultas, dan sebagainya. Namun terlepas dari itu semua, ada yang
bisa kita ambil pelajarannya, yaitu adanya keseragaman dalam setiap
pergerakannya. Ini merupakan contoh konkrit sinergisitas dalam tubuh internal suatu
organisasi. Keseragaman bukan berarti harus sama, tetapi lebih kepada sikap
saling mendukung satu sama lain.
Inilah saatnya media sosial lebih berperan aktif dalam penyampaian isu
kepada para mahasiswa. Melaluinya, media sosial dapat menjadi sarana diskusi
yang konstruktif dan aspiratif. Memang, membentuk suatu gerakan mahasiswa
bukanlah perkara yang mudah. Tapi paling tidak, membangun komunikasi yang baik
adalah suatu awalan yang tepat menuju kampus yang sinergis. Alangkah indahnya
suatu kampus apabila setiap mahasiswanya mampu menghargai setiap perbedaan
orientasi pembelajaran. Tidak akan ada lagi hujatan atau kritik destruktif
terhadap pergerakan mahasiswa.
HIDUP MAHASISWA!
HIDUP RAKYAT INDONESIA!